Desa Wisata Osing berada di Desa Kemiren , Kecamatan Glagah di
Kabupaten Banyuwangi. Penduduk di desa ini merupakan kelompok masyarakat
yang memiliki adatistiadat dan budaya khas sebagai satu suku, yang
dikenal sebagai suku Osing (Using). Pemerintah menetapkannya , sebagai
daerah eagar budaya dan mengembangkannya sebagai Desa Wisata (Suku)
Using (Osing)
Memasuli Desa Kemiren benar-benar terasa berada di tempat yang patut
dinikmati sebagai satu pengalaman baru Bangunan mmah berjajar dan
saling berdekatan di komplek pemukiman yang padat penduduk dt sepanjang
jalan menyambut wisatawan sebelum tiba di tempat rekreasi.
Tak jauh dari pemukiman Pendu.auk terhampar persawaan dan pepohonan
hijau yang meungi jalan desa.duduk Desa Kemiren adalah petani hanya
sebagian kecil berprofesi’pedagang.
Dalam bercocok tanam, masyarakat Kemiren menggelar tradisi selamatan
sejak menanam benih, saat padi mulai berisi, hingga panen. Saat masa
panen tiba, petani menggunakan ani-ani diiringi tabuhan angklung dan
gendang yang dimainkan di pematang-pematang sawah.Saat menumbuk padi,
para perempuan memainkan tradisi gedhogan, yakni memukul-mukul lesung
dan alu sehingga menimbulkan bunyi yang enak didengar.
Itulah kehidupan sehari-hari masyarakat Osing yang mendorong
pemerintah daerah memetapkannya sebagai cagar budaya dan desa wisata.
Setelah ditetapkan menjadi Desa Wisata Using, tahun 1995 Bupati
Purnomo Sidik membangun anjungan wisata yang terletak di utara desa.
anjungan yang berdiri di atas lahan 2,5 hektar ini dibangun dengan biaya
Rp 4 miliar. Anjungan ini dikonsep menyajikan miniatur rumah-rumah khas
Using, mempertontonkan kesenian warga setempat, dan memamerkan hasil
kebudayaan.
Di tempat rekreasi dibangun fasilitas wisata seperti kolam renang,
tempat bermain, dan tentu saja ada bangunan rumah khas masyarakat Osing
serta bangunan museum modern yang mamajang berbagai perlengkapan dan
pernik budaya Osing. Cukup dengan uang Rp 5.000 untuk tiket masuk,
wisatawan bisa menikmati fasilitas rekreasi sepuasnya.
Posisi Desa Kemiren sangat strategis menuju wisata Kawah Ijen. Desa
ini merniliki luas 117.052 m2 memanjang hingga 3 km yang di kedua
sisinya dibatasi oleh dua sungai, Gulung dan Sobo yang mengalir dari
barat ke arah timur. Di tengah-tengahnya terdapat jalan aspal selebar 5 m
yang menghubungkan desa ini ke kota Banyuwangi di sisi timur dan
pemandian Tamansuruh dan ke perkebunan Kalibendo di sebelah barat. Pada
siang hari, terutama pada hari-hari libur, jalan yang membelah Desa
Kemiren cukup ramai oleh kendaraan umum dan pribadi yang menuju ke
pemandian Tamansuruh, perkebunan Kalibendo maupun ke lokasi wisata Desa
OSing.
Kepala Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kab. Banyuwangi Suprayogi
mengatakan, pemerintah kabupaten berkomitmen akan memperbaiki sarana dan
prasar`na pendukung pariwisata, termasuk di dalamnya SDM. “Jika
Banyuwangi sebagai jantung diujung timur telah berdetak maka
sektor-sektor lain akan memperoleh manfaatnya, termasuk daerah
sekitarnya,” ujarnya.
Salah satu upaya y`ng telah dilakukan adalah mempertemukan pengusaha
Bali dan Banyuwangi yang dikemas dalam Gathering Night in Bali. Dengan
harapan meningkatkan kunjungan wisata ke Banyuwangi “Selain itu kami
juga bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur misaInya melalui
Majapahit Travel Fair yang akan berlangsung bulan Mei.”
Sejarah Masyarakat Osing
Desa.yang berada di ketinggian 144 m di atas p ermukaan laut yang
termasuk dalam topografi rendah dengan curah hujan 2000 mm/tahun
sehingga memiliki suhu udara rata-rata berkisar 22-26°C ini rnemang
cukup enak dan menarik dari sudut suhu udara dan pemandangan untuk
wisata.
Mengamati bentuk rumah di Kemiren sepertinya sarna. Namun jika
diamati lebih teliti ada perbedaan pada atap rumah yang ternyata
menandai status penghuninya. Rumah yang beratap empat yang disebut
‘tikel balung’ melambangkan bahwa penghuninya sudah mantap. Rumah
‘crocogan’ yang beratap dua mengartikan bahwa penghuninya adalah
keluarga muda dan atau keluarga yang ekonominya relatif rendah, dan
rumah “baresan’ yang beratap tiga yang melambangkan bahwa pemiliknya
sudah mapan, secara ma·teri berada di bawah rumah bentuk ‘tikel balung’ .
Hampir di setiap rumah ditemukan lesung (alat penumbuk padi), dan
gudang tempat menyimpan sementara hasil panen. Di beberapa sudut jalan
tampak gubuk beratapkan ilalang, yang dibangun di ujung kaki-kaki
jajang (bambu,
dalam bahasa Osing) yang tinggi. Bangunan ini digunakan oleh masyarakat
untuk “cangkruk” sambil mengamati keadaan di sekeliling desa. Pada masa
lalu, gubuk seperti ini sengaja dibangun untuk memantau kedatangan
“orang asing” yang mencurigakan.
Sejarahnya, suku Osing saran seperti suku Tengger, yang merupakan
masyarakat yang setia kepada Raja Majapahit yang menyelamatkan diri
ketika kerajaan diserang dan runtuh sekitar tahun 1478 M. Sebagian
berhenti di pegunungan Tengger (sekarang menjadi kelompok masyarakat
suku Tengger) di Probolinggo dan sebagian melanjutkan perjalanan hingga
ke ujung timur P Jawa (Banyuwangi). Ada pula
kelompok yang terus menyeberangi selat (Bali). Kelompok masyarakat
yang mengasingkan diri ke ujung timur Jawa ini kemudian mendirikan
kerajaan Blambangan di Banyuwangi yang bercorak Hindu-Buddha seperti
halnya kerajaan Majapahit. Kerajaan Blambangan berkuasa selama dua
ratusan tahun sebelum jatuh ke tangan kerajaan Mataram Islam pada tahun
1743 M.
Orang-orang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa.
Keturunan kerajaan Hindu Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainnya
(Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat dari adat-istiadat budaya maupun
bahasanya. Desa Kemiren lahir pada zaman penjajahan Belanda, tahun
1830-an. Awalnya, desa ini hanyalah hamparan sawah dan hutan milik
penduduk Desa Cungking yang merupakan cikal-bakal masyarakat Osing.
Hingga kini
Desa Cungking juga masih tetap ada. Letaknya sekitar 5 km arah timur
Desa Kemiren. Hanya saja, saat ini kondisi Desa Cungking sudah menjadi
desa kota.
Saat itu, masyarakat Cungking memilih bersembunyi di sawah untuk
menghindari ten tara Belanda. Para warga enggan kembali ke desa asalnya
di Cungking. Maka dibabatlah hutan untuk dijadikan perkampungan. Hutan
ini banyak ditumbuhi pohon kemiri dan durian. Maka dari itulah desa ini
dinamakan Kemiren. Pertama kali desa ini dipimpin kepala desa bernama
Walik. Konon dia termasuk salah satu keturunan bangsawan.
Seperti halnya masyarakat suku Tengger, masyakat Osing di Kemiren
bukan masyarakat eksklusif yang menutup diri seperti suku Badui. Di satu
sisi, mereka sangat terbuka terhadap kemajuan jaman, seperti tampak
pada eara berpakaian dan arsitektur rumah masa kini. Tapi di sisi lain,
mereka kukuh menjalankan tradisi nenek moyang, mulai kehidupan
sehari-hari sampai yang sacral seperti perkawinan sekalipun.
Cagar Budaya
Desa Kemiren telah ditetapkan sebagai Desa Osing yang sekaligus
dijadikan cagar budaya untuk melestarikan keosingannya. Area wisata
budaya yang terletak di tengah desa itu menegaskan bahwa desa ini
berwajah Osing dan diproyeksikan sebagai eagar budaya Osing. Banyak
keistemewaan yang dimiliki oleh desa ini di antaranya penggunakan bahasa
yang khas yaitu bahasa Osing.
Kekhasan kehidupan dan pemukiman penduduk serta adat-istiadat suku
Osing menjadi modal utama pemerintah daerah membangun Desa Wisata Osing.
Wisata Osing yang sebenarnya adalah wisata budaya. Fasilitas rekreasi
hanya merupakan tambahan yang dibangun sebagai pelengkap
Coba berkunjung ke desa ini pada saat diselenggarakan upacara adat
“Ider Desa” misalnya, maka paket wisata budaya di Kemiren sangat
lengkap.
Para ahli sejarah lokal cukup yakin bahwa julukan “Osing” itu
diberikan oleh para imigran yang menemukan bahwa kata “tidak” dalam
dialek lokal adalah “Osing”, yang berbeda dari kata “ora” dalam bahasa
Jawa. Orang yang sebenarnya Jawa itu kini disebut Osing saja atau juga
disebut Jawa Osing.
Ini memiliki ciri khas yaitu ada sisipan “y” dalam pengucapannya.
Seperti contoh berikut ini: madang (makan) dalam bahasa Osing menjadi
“madyang”, abang (merah) dalam bahasa Osing menjadi “abyang”. Masyarakat
desa ini masih mempertahankan bentuk rumah sebagai bangunan yang
memiliki
Keunikan lainnya terdapat pada tradisi masyarakat yang mengeramatkan
situs Buyut Cili, tiap malam Senin dan malam Jumat warga yang akan
membuat hajatan selalu melakukan doa dengan membawa “pecel pitik” atau
yang bias a kita kenal dengan sebutan urap-urap ayam bakar di situs Mbah
Buyut Cili yang dipercaya sebagai salah seorang leluhurnya.
Pendatang yang bermalam di desa ini juga dianjurkan untuk berziarah
ke situs Buyut Cili guna meminta izin demi keselamatan dirinya serta
dilancarkan urusannya selama berada di Desa Kemiren Buyut Cili ini
dipercaya bisa mengabulkan permintaan masyarakat yang berziarah, asalkan
permintaan tersebut bersifat baik. Salah satu caranya adalah dengan
meminta berbagai bunga yang ada di makam tersebut kepada penjaga makam
kemudian bunga tersebut dicampur dengan air untuk diminum tapi
sebelumnya harus membaca basmalah dan shalawat 3x .
:.
Liburan Mewah tidak harus biaya Mahal ^___^
Kami Melayani Perjalanan Wisata ke Beberapa tempat wisata yang telah kami posting
Dengan Harga sesuai keuangan anda. Kami siap membantu pencarian dengan harga paling murah.
Menyediakan Tour guide, Bermacam mobil - bus, driver,privat tour, hotel,villa dan bermacam keperluan anda lainnya.
Contact : gobyos.byos@gmail.com / pdoe21@yahoo.com
Kami Hanya sekedar ingin membantu liburan anda untuk lebih irit namun tetap memuaskan
Turis lokal dan manca negara sama saja tidak perbedaan untuk jasa kami.